Sabtu, 27 November 2010

Rumah Idaman Makan Siang di "Kandang Kebo"

Rumah Idaman Makan Siang di "Kandang Kebo"


Makan Siang di "Kandang Kebo"

Posted: 28 Nov 2010 01:26 AM PST

Budi Suwarna

 Waktu makan siang telah tiba. Kami makan nasi padang di rumah Gunawan Wijaya (65) di sebuah bangunan tua di Desa Cipari, Kecamatan Panongan, Banten. "Kamu tahu bangunan ini dulunya apa? Ini kandang kebo," ujar Gunawan sambil tersenyum.

Gunawan benar-benar tidak sedang bercanda. Bangunan itu berupa sebuah gubuk besar berukuran sekitar 4 x 12 meter. Atapnya ditopang tiang-tiang kayu nangka ukuran besar yang dipasang tegak dan melintang. Tak ada dinding pada bangunan itu. Hanya ada dua papan ukuran 20-an sentimeter di pasang melintang di beberapa sisi bangunan hingga terdapat celah begitu lebar.

Setelah lama memerhatikan, kami baru yakin, bangunan ini benar-benar kandang kebo atau kerbau. Celah lebar itu tidak lain tempat kerbau menjulurkan kepalanya untuk meraih makanan.

Menurut Gunawan, kandang kebo itu telah berusia 105 tahun. Dia membelinya dari seseorang di Sewan. "Awalnya saya bingung, kandang ini mau saya apakan. Lalu, saya jadikan saja gubuk untuk makan," tambah Gunawan yang 39 tahun berbisnis kayu dan barang antik.

Di tangan laki-laki yang lebih suka disebut tukang kayu itu, kandang kebo pun menjadi indah. Di bawah atap yang dibiarkan tanpa eternit, dia gantungkan berderet lonceng kayu ukuran besar yang biasa dipasang di leher sapi atau kerbau.

Lantainya dilapisi ubin bekas. Dan, di atas lantai itu berserakan berbagai mebel kayu, barang-barang antik, musik China, dan beberapa lukisan. "Ini tempat favorit saya. Saya suka bikin makan-makan di kandang kebo ini bersama teman-teman," ujar Gunawan.

Telaga kecil

Kandang kebo hanyalah satu dari beberapa bangunan yang ada di rumah Gunawan. Masih ada tujuh bangunan kayu lainnya yang dibangun terpisah-pisah di tanah seluas 7.000 meter persegi. Tepat di depan kandang kebo, berdiri rumah kayu khas China Benteng (peranakan Tionghoa di Tangerang). Seperti lazimnya rumah China Benteng, di depan pintu masuk ada altar untuk tempat sembahyang dan menempatkan abu leluhur. Lebih ke dalam ada ruang antara dan kamar di sebelah kanan.

Ke dalam lagi, ada ruang besar yang berbatasan dengan dapur di sebelah kiri. "Pengaturannya sesuai dengan pakem rumah China Benteng, termasuk ada kandang kebo di sebelah kiri," ujar Gunawan.

Di sebelah kanan rumah China Benteng, ada bangunan kayu yang difungsikan menjadi semacam galeri. Gunawan menyebutnya toko kecil tempat teman-temannya belanja. Di dalamnya ada berbagai barang antik, mulai dari lampu hias, mebel jati, alat musik China, patung, lukisan, keramik, dan dinding sumur kuno.

"Kompleks" rumah kayu itu memiliki sebuah telaga yang tenang. Di tengah telaga itu ada sebuah gubuk kecil berdinding gedek atau anyaman bambu yang hanya bisa dijangkau dengan perahu. "Tempat itu untuk menenangkan diri," kata Gunawan.

Di depan telaga, lagi-lagi ada bangunan kayu bertingkat dua tanpa dinding. Dari situ, kita bisa menikmati telaga sambil memancing atau memandang persawahan hijau. Tidak jauh dari situ, Gunawan menempatkan lumbung padi kayu asal Cirebon. Lumbung padi difungsikan sebagai kamar untuk tetamu.

Bangunan-bangunan yang berserakan itu dihubungkan dengan taman luas bergaya campuran Bali dan Jepang. Taman itu dihiasi rumput hijau, pisang-pisangan, kenanga, bambu kuning, hingga kamboja berusia seratusan tahun yang batangnya besar. Di taman, juga berserakan barang-barang kuno, seperti mesin diesel buatan Jerman tahun 1901, batu penggiling tebu, mesin pres dari batu, dan patung-patung.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read our FAQ page at fivefilters.org/content-only/faq.php
Five Filters featured article: Beyond Hiroshima - The Non-Reporting of Falluja's Cancer Catastrophe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar