Rabu, 05 Oktober 2011

Rumah Idaman “Awas, Jangan Tertipu Pengembang "Lebay"!” plus 2 more

Rumah Idaman “Awas, Jangan Tertipu Pengembang "Lebay"!” plus 2 more


Awas, Jangan Tertipu Pengembang "Lebay"!

Posted: 06 Oct 2011 05:59 AM PDT

KOMPAS.com - Tak sedikit kasus calon konsumen rumah dirugikan akibat buruknya komitmen pengembang menepati janji-janji yang dipaparkan saat menawarkan produknya. Sekali lagi, sesal setelah membeli tiada guna.

Sebutlah misalnya, seorang calon pembeli rumah sudah membayar tak kurang dari Rp 50 juta sebagai uang muka bakal rumahnya. Dalam perjalanan, lokasi calon rumahnya itu ternyata akan dilewati oleh proyek jalan tol.

Ini terjadi bukan satu atau dua kasus. Di Jakarta, ratusan orang mengalami hal sama dan menuntut pengembang mengembalikan uang yang sudah disetorkan, plus bunganya. Pengembang ingkar dan kasusnya berlarut-larut.

Janji tinggal janji. Warga di perumahan lain juga dibuat kesal, karena janji pengembang membangun arena pusat kebugaran (sports club) hanya tinggal janji. Belakangan malah sebuah sekolah menengah atas berdiri di atas lahan yang tadinya dijanjikan untuk arena sports club itu. Akibatnya, lalu lintas dan ketenangan warga jadi terganggu karena munculnya sekolah baru di perumahan mereka.

Di tempat lain, seorang pembeli rumah harus marah-marah ke pengembang lantaran umum menuju lokasi rumahnya tidak segera diperkeras. Toh, tetap tidak ada perubahan sudah banyak warga yang menghuni.

Akibatnya, jalanan menuju rumah sudah layaknya sungai. Jalan bergelombang di kala kemarau, dan menggenang di musim hujan.

Memang, kasus-kasus semacam ini ratusan, bahkan mungkin ribuan kali terjadi. Hanya segelintir saja yang terekspos ke permukaan karena pada umumnya warga malas mengadukannya, atau malah putus asa, atau ingin mengadu tapi tak tahu ke mana.

Apakah ini sedang terjadi pada Anda?

Pelanggaran komitmen

Kasus paling banyak terjadi yang mengakibatkan seorang konsumen dirugikan adalah jadwal serah-terima kunci meleset dari waktu yang sudah dijanjikan. Melesetnya pun tidak pernah lebih cepat dari jadwal, karena selalu lebih lambat. Bahkan, sudah menjadi kelaziman, bahwa serah terima kunci seolah-olah memang harus terlambat.

Bisa dikatakan, hampir tak ada pengembang yang memberikan garansi tertulis disertai kompensasi-kompensasi yang jelas bilamana bangunan yang sudah dibeli konsumen telat pada waktu penyerahan kuncinya. Sejatinya, betapa menarik dan tergodanya konsumen bila ada developer melakukan hal ini. Bahkan, barangkali, jika ini dilakukan dapat menjadi sebuah tools marketing dahsyat.

Pelanggaran lain tak kalah banyak terjadi adalah penanganan komplain yang tidak memadai manakala ada bangunan cacat (retak, bocor, tidak sesuai spesifikasi yang dijanjikan, dan sebagainya). Garansi biasanya diberikan selama kurun waktu 100 hari atau 3 bulan sejak serah terima kunci. Yang terjadi, sebelum 3 bulan bangunan memang berfungsi baik, tapi setelahnya mulai muncul masalah.

Masalah lain, bagaimana bila rumah diserahkan pada musim kemarau, sementara hujan yang pertama kali mengguyur setelah rumah dihuni baru baru terjadi setelah masa 100 hari itu habis. Alangkah hebatnya dan akan menjadi sebuah sarana promosi yang hebat jika garansi terhadap kebocoran rumah misalnya, diberikan setelah rumah tersebut diterpa hujan. Maka, calon konsumen sudah seharusnya sangat cermat memperhatikan dan mencermati komitmen yang diberikan secara tertulis maupun lisan oleh pengembang saat mereka menawarkan produknya.

Pertanyaannya, jika komitmen tertulis dengan mudah didapat, bagaimana membuktikan komitmen yang disampaikan secara lisan oleh tenaga marketing pengembang tersebut?

Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa memanfaatkan ponsel yang memiliki kemampuan rekam sangat memadai untuk mendokumentasikan janji-janji ini. Bisa direkam secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi.

Namun, yang lebih penting dari itu, komitmen pengembang dalam membangun sebuah kawasan atau perumahan dapat terlihat secara fisik dari infrastruktur yang disediakan di situ, sampai dengan hal-hal yang remeh-temeh seperti bagaimana pepohonan dirawat. Kita bisa menilik rencana sarana jalan yang ada, cukup luas atau cuma sedikit lebih lebar dari sebuah gang senggol.

Perhatikan pula pengaturan drainase di lokasi ini, bagaimana dan seperti apa fasilitas umum disediakan. Semua ini bisa secara mudah dinilai. Bahkan, bagaimana tampilan fisik kantor pemasaran, cara karyawannya melayani konsumen, sampai dengan bagaimana pepohonan dan taman dirawat, akan menunjukkan filosofi dan komitmen pengembang dalam membangun kawasan atau kompleks hunian tersebut secara keseluruhan.

Perlu diketahui, pengembang yang sekadar "menjual unit" akan berbeda dengan pengembang yang berkomitmen membangun kawasan atau menawarkan hunian nyaman yang terkonsep secara matang. Pengembang yang sekadar mengeruk untung akan berbeda dengan pengembang dengan perspektif dan menawarkan sebuah nilai investasi bagi konsumen. Mereka yang sekadar menjual unit umumnya tak akan memperhatikan segala sesuatu di luar kawasannya. Istilahnya, bagaimana sarana jalannya, sarana transportasinya, bagaimana interaksinya dengan lingkungan sekitar, bukanlah urusan mereka.

Ya, begitulah kurang lebih jika diterjemahkan. Nah, untuk mengetahui dan mengukur komitmen semacam ini, mau tak mau konsumen harus mengeluarkan tenaga ekstra dengan melihat langsung ke lokasi, mengamati, dan mencermati semua hal di sepanjang jalan menuju lokasi.

Tentunya, sangat mustahil mencium komitmen ini hanya dari brosur yang dicetak, apalagi kata-kata memikat dari tenaga pemasarnya yang rapi atau cantik rupawan. Padahal, dengan kunjungan ke lokasi, calon konsumen akan dapat menilai komitmen pengembang tersebut, dan kemudian dapat memastikan, apakah investasi yang kita lakukan atas calon rumah tersebut akan berprospek atau ngehek.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: A 'Malign Intellectual Subculture' - George Monbiot Smears Chomsky, Herman, Peterson, Pilger And Media Lens.

Pembangunan Apartemen Hanya Cocok di Jakarta

Posted: 06 Oct 2011 05:12 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, menilai kota-kota di luar Jakarta belum siap dengan konsep apartemen sebagai tempat tinggal. Pembangunan apartemen di kota lain dinilai latah meniru Jakarta.

Apartemen belum cocok selain di Jakarta, walaupun sekarang pengembang melakukan ekspansi ke Surabaya. Kota-kota lain seperti latah meniru perkembangan Jakarta.

-- Ali Tranghanda

"Apartemen itu belum cocok selain di Jakarta, walaupun sekarang pengembang melakukan ekspansi ke Surabaya. Kota-kota lain seperti latah meniru perkembangan Jakarta," katanya kepada KOMPAS.com, di Jakarta, akhir pekan lalu. 

Ali menilai, permintaan pasar apartemen di kota lain saat ini masih rendah. Kalau pun ada permintaan, lanjut dia, jumlahnya masih tipis.

"Bahayanya, pengembang melihat seolah-olah Bandung dan Surabaya sudah siap dengan konsep apartemen. Kalau Surabaya itu masih cocoknya untuk landed (rumah tapak)," ujarnya.

Lalu, mengapa hanya Jakarta dinilai lebih pas dengan konsep apartemen? Ali mengatakan, pertumbuhan kota Jakarta sudah terlalu padat dengan mobilitas para komuter dari kota-kota di sekelilingnya yang begitu tinggi.

"Kota lain belum sepadat Jakarta, dan sedikit komuternya," katanya.

Tinggal di apartemen

Siapkah warga Jakarta dan sekitarnya tinggal di apartemen?

Menurut Ali, ke depan orang akan makin menyadari, bahwa mereka memang perlu pindah ke hunian vertikal. Alasannya adalah produktivitas kerja.

"Untuk suatu kota dengan karyawan yang banyak, pastinya sebagian dari mereka tak mau tinggal di luar Jakarta, karena macet. Mereka akan memilih tinggal di apartemen, dekat dengan tempat kerjanya. Ini metamorfosis kota," ujarnya.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: A 'Malign Intellectual Subculture' - George Monbiot Smears Chomsky, Herman, Peterson, Pilger And Media Lens.

Rumah Hijau dan Nyaman ala Jaye Tan

Posted: 06 Oct 2011 02:21 AM PDT

SINGAPURA, KOMPAS.com - Jaye Tan, seorang arsitek dari DP Architect Singapura, menetapkan syarat tertentu dalam merancang rumah yang akan sekaligus dia jadikan kantor. Di Singapura, rumah harus memenuhi syarat sebagai sebuah bangunan hijau, namun tetap nyaman dan sejuk, serta enak dipandang sebagai sebuah hunian.

Sayang sekali kalau dipotong, karena pohon ini bisa menjadi penghalang debu dan bagian depan rumah pun teduh.

-- Jaye Tan

Rumah yang dibangun oleh Tan itu, misalnya, juga harus memiliki sertifikasi Green Mark Platinum untuk hunian dari Building and Construction Authority (BCA) Singapura. Meskipun tidak 100 persen menciptakan energi sendiri untuk listrik, Tan memanfaatkan sinar matahari yang melimpah semaksimal mungkin. Dia merancang rumah panggungnya itu dengan kaca pada bagian depan dan belakang rumahnya.

"Saya tidak perlu menyalakan lampu pada siang hari, karena sinar matahari bisa masuk ke rumah," ujar perempuan berambut model bob pendek ini, saat ditemui KOMPAS.com, awal September lalu.

Nah, apa saja konsep hijau yang diterapkan oleh Tan di rumahnya? Berikut beberapa hal yang ia lakukan dan bisa dijadikan panduan:

Reflektor matahari

Tentu, dengan konsep bangunan hijau, diperlukan trik-trik khusus untuk menahan panas. Tan menghias dinding pada belakang rumahnya dengan tanaman rambat.

"Selain menambah keindahan, tanaman ini mampu meredam panas matahari," lanjutnya.

Warna putih

Trik lainnya adalah memasang tirai putih transparan untuk memantulkan panas. Alasannya, warna putih mampu memantulkan panas.

"Jadi kita hanya mendapatkan sinarnya, bukan panasnya," jelas Tan.

Tuas untuk membuka dan menutup tirai itu dioperasikan dari dalam. Hasilnya memang terasa. Meskipun terang benderang, ruang kerja Tan tidak terasa panas, bahkan tanpa alat pendingin ruangan sekalipun.

Barang bekas

"Itu pohon tumbang yang dipotong," katanya, sambil menunjukkan sebuah meja kayu besar yang bagian pinggirnya tidak rata.

Namun, justeru lekuk pohon dan tekstur yang tampak jelas itulah yang memberi nilai artistik tersendiri di ruangannya.

Untuk lantai, Tan juga memanfaatkan kayu bekas. Begitu juga dengan tangga kayu yang mengantar penghuninya bergerak dari lantai ke lantai.

Tan memang menggunakan furnitur yang sebagian besarnya merupakan barang lama. Ada yang diolah lagi, ada juga digunakan begitu saja, seperti kursi batu di teras lantai atas.

Dapur di depan

Tidak seperti kebanyakan rumah yang meletakkan dapur di bagian belakang rumah, Tan justru menempatkan dapur di bagian depan, berhadapan langsung dengan ruang tamu. Ia punya alasan khusus untuk ini.

"Agar mendapat sinar matahari secara langsung dan asap dapur pun tidak berkecamuk di dalam rumah," tuturnya.

Dengan begitu, lanjut Tan, dia tidak perlu menyalakan lampu pada siang hari.

Matahari pemanas air

Untuk mendapatkan air hangat, Tan tidak menggunakan water heater yang menggunakan listrik. Di teras itu juga disediakan alat pemroses air hangat yang mendapat panas dari matahari.

"Untuk alat-alat pengolah sinar matahari ini memang saya mengeluarkan biaya cukup besar. Tetapi, pengeluaran di awal itu membuat saya mampu menghemat beberapa puluh persen penggunaan energi listrik," imbuhnya.

Menghabiskan banyak biaya untuk pengolahan energi, lanjut Tan, harus diakali dengan menghemat anggaran di sisi lain saat membangun rumah itu. Dengan cerdik dia memanfaatkan barang-barang bekas untuk rumahnya.

Hak hidup pohon

Bagi arsitek ini, pohon punya hak hidup. Ketika ia membeli rumah itu, sebatang pohon cukup besar tumbuh di halaman depannya. Tan memutuskan menambah luas beranda hingga ke pagar depan tanpa menebang pohon tersebut. Demi tujuan tersebut, ia memberi lubang pada lantai kayunya untuk memberi ruang tumbuh bagi pohon yang memberi keteduhan di siang hari dan menjadi penghalang debu agar tidak langsung masuk ke rumahnya yang terbuka itu.

"Sayang sekali kalau dipotong, karena pohon ini bisa menjadi penghalang debu dan bagian depan rumah pun teduh," imbuhnya.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: A 'Malign Intellectual Subculture' - George Monbiot Smears Chomsky, Herman, Peterson, Pilger And Media Lens.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar