Selasa, 05 April 2011

Rumah Idaman “Tempat Pulang yang Merdeka” plus 2 more

Rumah Idaman “Tempat Pulang yang Merdeka” plus 2 more


Tempat Pulang yang Merdeka

Posted: 06 Apr 2011 12:26 AM PDT

KOMPAS.com - Pelukis Suprobo berupaya lepas dari hiruk-pikuk kota yang bingar. Ia ingin membangun tempat pulang yang merdeka, jauh dari jamahan keramaian. Keinginan itu ditegaskan Suprobo sejak ia membangun rumah pada tahun 1994 di Pondok Petir, Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Ayah empat anak itu bercerita di sela sayup rekaman tetabuhan gamelan Jawa yang diputarnya.

"Kota penuh dengan beton dan kaca. Saat lelah, saya ingin merasa pulang, pulang ke rumah yang tidak memiliki beton dan kaca. Saya ingin rumah seperti di desa saya," ujar lelaki kelahiran Desa Payak, Kecamatan Cluwak, Pati, 10 Februari 1958, itu.

Setelah belasan tahun mengontrak dan menumpang di rumah saudara di Jakarta, tahun 1993 Suprobo membeli tanah seluas 1.023 meter persegi di salah satu puncak bukit di Pondok Petir. "Saat itu saya sudah terilhami rumah kartunis Om Pasikom, GM Sudarta, di Joglo, Ciledug. Kompleks rumah beliau terdiri dari beberapa bangunan dengan fungsi berbeda-beda dan dihiasi banyak benda kuno dan antik," kata Suprobo, yang juga pernah menjadi ilustrator dan perancang grafis sejumlah majalah.

Tahun 1993, ia membeli gebyok atau dinding rumah joglo khas Pati. Pada 1994, kemudian ia membeli dua rumah joglo lurah di Jepara. Salah satunya adalah pendopo lurah Desa Watuaji di Kecamatan Keling, yang konon berumur ratusan tahun. Rumah joglo khas Jepara itu memiliki pendopo buntu yang disebut dodo peksi. Rumah joglo itu menjadi bangunan pertama di rumah Suprobo.

Uniknya, saat membangun rumah pertamanya, Suprobo "mengoplos" dua joglo Jepara dan gebyok joglo Pati. Pendopo joglo ber-dodo peksi

menjadi pendopo utama rumah tinggal yang ditinggali keluarga Suprobo sejak 1995, namun kini tinggal menjadi ruang keluarga yang dipenuhi belasan dipan jati kuno dan aneka perkakas tua, seperti lampu sentir, peti tua, panggung sinden, juga aneka perabot kuno.

Kulit pendopo itu memakai gebyok joglo Pati. Beberapa gebyok dalam kedua joglo Jepara terpakai menjadi sekat pembagi ruangan. Tiap sisi rumah memiliki pintu.

"Ada ahli Feng Sui menyatakan rumah saya menyalahi prinsip Feng Sui karena keempat pintu itu. Saya tidak ambil pusing karena saya lebih memilih untuk merasa merdeka dan bebas di rumah sendiri," kata Suprobo.

Beranda Di depan joglo "gado-gado" itu, Suprobo membangun beranda berpanggung, yang kini kerap menjadi tempat menjamu tamu. "Terus ini saya peruntukkan bagi kemerdekaan tamu saya. Mau memilih duduk di mana saja silakan, di dalam rumah, atau di teras. Mau selonjor, bersila, terserah. Mau merokok pun silakan, karena berandanya memang ruang terbuka. Di sudut kiri-kanan bagian depan rumah masing-masing ada dua kendi air. Orang di desa selalu menyediakan kendi di depan rumah agar bisa diminum orang yang kebetulan lewat," ujar Suprobo.

Untuk dapurnya, Suprobo mendirikan sebuah rumah limasan di belakang joglo itu. Dinding dapurnya tidak diplester, memperlihatkan batu bata merah yang membuat rumah mungil yang tampil senada dengan joglo sebagai bangunan utama. Sebuah selasar menyambung dapur dengan bagian belakang joglo, dengan sebuah meja dan dua bangku panjang di tengahnya.

Setandan pisang digantung di atas meja, juga kaleng kerupuk menjadikan selasar itu bak warung "tempo doeloe". "Saya dulu hidup dari warung ke warung dan memang senang jajan, ngobrol di warung. Itu kenapa saya membuat dapur dengan suasana seperti warung," katanya, "Mau jagongan, kaki nangkring di atas bangku, tidak mengapa. Merdekalah pokoknya," kata Suprobo.

Impiannya untuk memiliki kompleks rumah pribadi dilengkapi studio melukis dan galeri pribadi terwujud tahun 1996. Di belakang rumah joglo, ia membangun lagi rumah limasan berdinding kayu, yang kini menjadi rumah tinggal Suprobo dan istrinya, Sunarmi. Di sebelah barat rumah pribadi itu, juga dibangun rumah limasan berdinding kayu yang menjadi tempat tinggal empat anak-anak mereka, menjadi satu-satunya rumah berinterior modern.

Studio dan galeri

Studio lukis Suprobo dirakit dari sisa rumah joglo Jeparanya, menjadi sebuah rumah panggung dua lantai. Studio itu menjadi rumah gado-gado, mirip rumah panggung Lampung, dengan banyak ornamen Jawa. "Rumah itu memang tidak berpakem ke mana-mana, itu murni kreasi saya," katanya.

Galeri pribadi pun dirancang sendiri oleh Suprobo, tanpa dinding samping karena atap limasannya sangat rendah, nyaris menyentuh tanah. Dinding depannya yang berbentuk segitiga adalah kombinasi kayu jati dan mozaik kaca yang didominasi bentuk segitiga, menyerupai potongan intan yang berwarna lembut.

Di belakang galeri yang interiornya tengah dipugar itu, Suprobo membuat teras kecil tempat ia menumpuk segala perkakas bengkelnya. Di bengkel kecil itulah ia mengutak-atik mobil Volkswagen (VW) tua, yang kerap diburunya. Ada sejumlah VW yang terparkir di sela rerindangan pohon di kompleks yang luasnya berkisar 7.000 meter persegi.

Museum pribadi yang menggenapi Prasada Suprobo terbangun tahun 2000, setelah ia membeli tanah dan bangunan mangkrak persis di barat kompleks rumah Suprobo. Bangunan terbengkalai itu dimodifikasi agar rumah modern itu senapas dengan bangunan lainnya. Di museum itu ia menyimpan puluhan lukisan karyanya sejak tahun 1977, gamelan, seperangkat alat musik keroncong, juga sepeda motor tua. Salah satu mobil proklamator Bung Hatta terparkir di lantai bawah museum.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read our FAQ page at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Libya and Oil.

Rumah yang Tak Mengungkung

Posted: 06 Apr 2011 12:18 AM PDT

                                                Nur Hidayati

KOMPAS.com - Ia ingin Indonesia menjadi seperti rumahnya. Ada beragam peran, tetapi tak terkungkung satu sama lain. Harapan itu tecermin di rumah Firmanzah (34), Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

Rumah bagi Firmanzah adalah tempat menjadi diri sendiri, mengisi energi batin, sekaligus melepas penat. "Rumah saya enggak luas, tetapi penuh kursi ya," ujarnya mengawali perbincangan santai di rumahnya di kawasan Kelapa Dua, Depok.

Semua tamu yang berkunjung ke rumah dua lantai itu, ia beri keleluasaan duduk di mana saja. Begitu memasuki rumah, hampir semua pemandangan lantai satu memang seolah menyambut dan menyajikan pilihan bagi tamunya untuk mencari posisi duduk paling nyaman.

Rumah ini dibeli Fiz—begitu ia biasa dipanggil—pada tahun 2007 segera setelah ia menikahi Ratna (28). Pada tahun 2010, setahun setelah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi UI, Fiz merenovasi rumah untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan yang berkembang. Kebutuhan itu tak lain adalah ruang diskusi yang ia rasa perlu makin luas.

Dari hari ke hari, Fiz makin banyak kedatangan tamu, terutama mahasiswa dan akademisi yang datang untuk berdiskusi. "Sebenarnya saya ingin seluruh lantai satu ini jadi ruang diskusi, ruang-ruang pribadi pindah semua ke lantai dua. Tetapi, mampunya baru renovasi terbatas, jadinya begini," ujar Fiz.

Renovasi terbatas dilakukan dengan menyulap kolam ikan yang semula ada di sudut rumah sebagai beranda dapur menjadi pojok diskusi. Di pojok itu, ditata empat kursi rotan dengan meja kecil. Koleksi ornamen keramik bergaya Belanda dipadukan dengan cermin besar berbingkai ukiran Jawa terpasang di atasnya.

Pintu lipat yang semula memisahkan pojok itu dengan ruang tengah rumah dilepaskan sehingga menyatulah pojok diskusi ini dengan ruang tengah yang ditata unik. Di bagian utama lantai bawah ini terdapat dua kursi tamu mengapit meja telepon di samping pintu masuk, sofa, dan TV layar datar menandai peran ruang santai, juga ada meja dan kursi makan. Semua ditata tak bersekat. Dapur dan ruang kerja Firmanzah pun menyambung ke ruang tengah tanpa pintu.

"Di bangunan aslinya, ruang kerja ini sebenarnya ruang tamu," katanya. Itulah kenapa juga ada pintu masuk pada ruangan yang kini diisi meja kerja besar ini.

Menurut Fiz, sekarang tak jelas lagi mana pintu masuk utama atau mana bagian depan dan bagian samping rumah. Dua pintu masuk ke rumah dibuat sama, berdaun ganda.

"Terserah tamu mau masuk ke rumah lewat mana. Langsung ke ruang kerja saya atau ke bagian tengah," ujarnya.

Begitu ada tamu lain datang dan ingin bergabung dalam diskusi yang sudah berlangsung, kursi-kursi rotan dari sudut rumah bisa ditarik ke situ atau obrolan pindah ke pojok diskusi atau pindah ke sofa depan TV. "Bisa juga ngobrol sambil makan di meja makan," ujar Fiz.

Indonesia Soal keterbukaan tata ruang itu, pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, ini mengumpamakan Indonesia yang ia harap seperti rumahnya. "Indonesia mestinya seperti ruang ini, ada peran ruang tamu, ruang makan, tempat masak, tetapi peran-peran itu jangan membuat kita terkungkung. Indonesia perlu kita buat feels like home," ujarnya.

Satu-satunya ruang privat di lantai satu hanyalah kamar tidur utama. "Ada yang menyarankan kamar saya dipindah saja ke atas. Jadi, seluruh lantai satu dibuat los untuk tempat diskusi. Tetapi, uangnya enggak ada," ujarnya.

Begitu pun, Firmanzah sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Satu-satunya harapan yang belum kesampaian dengan rumah itu hanyalah menambah ruang khusus perpustakaan di lantai atas.

Saat ini, rak buku besar ditempatkannya di ruang tengah lantai atas. Di situ juga ada sofa dan televisi. Ruang tengah di lantai atas ini langsung menyambung ke balkon lantai dua yang menyuguhkan pemandangan lembah di depan rumah.

Fiz mengingat, ketika pertama kali rumah itu ia beli, lembah di depannya masih rimbun oleh kebun sayur dan sawah. "Kalau kami mau belanja sayur bisa langsung dari kebunnya di situ," katanya. Namun, pengembangan perumahan kini sudah merambah lembah itu.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read our FAQ page at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Libya and Oil.

Furnitur Rotan Tergeser Rotan Sintetis

Posted: 06 Apr 2011 12:15 AM PDT

CIREBON, KOMPAS.com - Industri furnitur berbahan baku rotan makin tergeser dengan rotan berbahan baku plastik yang disebut rotan sintetis. Tren pasar juga berubah sehingga perajin sulit tetap memproduksi mebel rotan di tengah daya saing yang makin ketat, terutama menghadapi kompetitor dari luar seperti dari China.

Pergeseran tren dirasakan perajin mebel ataupun pemasok rotan di sentra mebel rotan Cirebon, Jawa Barat, Selasa (5/4). Walau di Plumbon, Kabupaten Cirebon, masih ada beberapa industri rotan, sebagian besar perajin memilih mengurangi produksi mebel berbasis rotan. Bahkan, deretan ruang pameran di Tegalwangi tak hanya menawarkan mebel rotan, tetapi juga mebel rotan berbahan plastik.

Kepala Pabrik CV Property Buwang Syah Sumianto mengatakan, "Kami hanya bertahan karena melihat tren pasar. Pasar ekspor mebel rotan makin turun, juga di dalam negeri. Pemilihan rotan imitasi terjadi karena konsumen luar negeri ingin meminimalisasi penggunaan kayu."

Kegiatan industri mebel sebenarnya masih berjalan, seperti di Property. Kegiatan menganyam kursi terus berlangsung meski dengan bahan baku rotan sintetis untuk mengejar pesanan ekspor. Satu dari empat pabrik Property, rata-rata mengekspor 30 kontainer per bulan.

Menurut Buwang, produk asal Cirebon memang lebih banyak diekspor. Produk Cirebon kalah bersaing di dalam negeri, justru karena serbuan produk China dengan adanya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Produk China sulit dilawan dari sisi harga jual. Konsumen Indonesia sangat sensitif soal harga dan tak peduli kualitas apalagi desain.

"Bersaing harga dengan China, kami menyerah. Mereka bisa menekan ongkos produksi karena Pemerintah China memberi insentif ekspor. Perbankan dengan bunga kredit rendah. Sementara di sini, semakin industri tumbuh, makin dirintang," ujar Buwang.

Presiden Direktur PT Jati Vision Raya (JAVA) Farry Tandean mengatakan, "Infrastruktur biaya produksi memang sulit ditandingi. Indonesia terlalu mahal."

Bahan baku alternatif Menurut Farry, industri furnitur tak dapat hanya fokus di industri berbasis rotan. Apalagi, mebel rotan kerap dipandang sebagai barang murahan. Permintaan pasar di tingkat domestik saja tidak menolong sama sekali. Media campuran, seperti besi dan kayu, haruslah dilakukan industri dengan inovasi kreativitas tinggi. Sentuhan desain sangat dibutuhkan untuk menggapai nilai tambah yang tinggi.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, ekspor furnitur rotan tahun 2007 mencapai 319 juta dollar AS, tahun 2008 turun menjadi 239 juta dollar AS, tahun 2009 turun drastis menjadi 167 juta dollar AS. Tahun 2010, nilai ekspor menurun lagi menjadi 138 juta dollar AS.

Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (Asmindo) M Hatta Sinatra, beberapa waktu lalu, mengatakan, industri mebel rotan menghadapi permintaan pasar yang melemah. Industri tidak mempunyai posisi tawar menghadapi pembeli. Tren bisnis ini menuntut kualitas bagus dengan harga kompetitif.

Yoce, petugas pemasaran PT Sulawesi Jaya, perusahaan bahan baku rotan mengatakan, permintaan atas rotan turun hingga 30 persen dibanding tahun lalu.

Berdasarkan pengamatan Kompas tampak rotan menumpuk di gudang milik Sulawesi Jaya jadi ketersediaan bahan baku bukanlah isu di Cirebon. (OSA/RYO/RZF)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read our FAQ page at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Libya and Oil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar