Minggu, 19 Juni 2011

Rumah Idaman “Meraup Untung di Bisnis Kontainer Bekas” plus 2 more

Rumah Idaman “Meraup Untung di Bisnis Kontainer Bekas” plus 2 more


Meraup Untung di Bisnis Kontainer Bekas

Posted: 20 Jun 2011 05:07 AM PDT

KOMPAS.com - Rumah dari kontainer atau peti kemas mungkin masih asing di telinga kita. Apalagi, rumah atau kantor yang dibuat dari peti kemas oleh pemodifikasi kontainer ini lebih banyak dipakai untuk situasi khusus, seperti bencana.

Namun, walaupun begitu laba bisnis modifikasi kontainer terus naik. Kontainer atau peti kemas tak hanya bisa digunakan sebagai wadah saat melakukan proses ekspor dan impor. Kontainer juga bisa dibikin menjadi rumah, ruang kelas atau ruangan kantor lengkap dengan penyejuk udara (AC) dan kamar mandi.

Bisnis jasa modifikasi kontainer menjadi hunian ini dilakukan Ani Mardiani, pemilik CV An-Nahl Container di Surabaya. Wanita yang sudah 10 tahun bergelut dengan jasa modifikasi kontainer ini mengatakan, pasar kontainer modifikasinya kian besar. Semakin padatnya kondisi lingkungan di kota besar, banyaknya proyek pembangunan dan bencana alam membuat jasanya semakin dibutuhkan.

"Rumah kontainer sangat fleksibel sehingga memiliki banyak keunggulan," kata Ani, pekan lalu.

Saat ini, 70 persen pesanan modifikasi kontainer berupa rumah. Tipe kontainer standar yang dikerjakannya adalah dengan ukuran 12 m x x 6 m x 3 m (meter).

Tak hanya merenovasi kontainer dengan penambahan AC, keramik dan jendela, Ani juga bisa memasang sekat untuk kamar mandi dan ruangan lain. Untuk paket standar tanpa sekat, tarif yang ditawarkan sebesar Rp 30 juta - Rp 65 juta. Sedangkan modifikasi dengan penambahan sekat biayanya sampai Rp 68 juta. Seluruh harga yang ditawarkan termasuk biaya pengiriman sampai tempat tujuan.

Tiap bulan, Ani biasanya memperoleh 2 sampai 3 pesanan modifikasi kontainer. Dengan harga yang ditawarkan tersebut, ia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. Walau lama pengerjaan akan disesuaikan dengan permintaan pelanggan, namun biasanya dalam satu minggu dia bisa menyelesaikan dua unit kontainer modifikasi.

"Klien saya kebanyakan datang dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang," katanya.

Ari Mahmud juga berkecimpung dalam bisnis modifikasi kontainer. Pemiliki PT Matraco Widyantara ini mulai menggeluti bisnis modifikasi kontainer sejak 1998 lalu. Pada tahun tersebut, dia melihat banyak kontainer bekas tidak terpakai karena perdagangan ekspor dan impor lesu.

"Pesanan rumah kontainer biasanya datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing di Indonesia saat terjadi bencana," ujarnya.

Tak hanya membuat kantor atau rumah, Ari juga bisa memodifikasi kontainer menjadi klinik, rumah sakit atau panggung pertunjukan. Dia mematok harga bervariasi untuk kontainer modifikasinya. Untuk kontainer ukuran standar 20 feet dengan pemasangan peredam panas, lantai keramik, dinding kayu dan hiasan lain, Ari memungut biaya sekitar Rp 49 juta.

Namun, meski prospek bisnis ini cukup cerah, kendala kenaikan harga kontainer bekas menghantui Ari dan Ani. Ari mengatakan, jika tahun lalu harga kontainer bekas ukuran 20 feet dalam kondisi 80% bagus mencapai Rp 11 juta, maka saat ini untuk ukuran yang sama dan kondisi yang sama harganya sudah mencapai Rp 18 juta sampai Rp 19 juta per unit. Selain masalah kenaikan harga kontainer bekas, banyaknya pemodifikasi kontainer yang keluar masuk usaha ini menjadi masalah tersendiri.

"Ada yang tertarik dengan usaha ini, tapi begitu ada keluhan dari konsumen mereka keluar," kata Ari.

Hal itu akan menyulitkan pengusaha yang benar-benar menggantungkan hidup pada usaha modifikasi kontainer lantaran konsumen akan meragukan produknya.

(Ragil Nugroho, Dharmesta)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

Waduh... Ada Perusahaan Properti Ganjal Percepatan JORR!

Posted: 20 Jun 2011 04:34 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan properti, PT Copylas Indonesia disebut-sebut mengganjal proyek percepatan pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) W2 Utara (Kebon Jeruk Ulujami) sepanjang 7,8 kilometer. Hal itu terjadi karena sampai saat ini Copylas belum bersedia menyerahkan tanah Fasos dan Fasum kepada pemerintah.

"Ada tanah Fasos dan Fasum yang dikuasai Copylas seluas 10,5 ha yang sampai sekarang belum bisa dibebaskan, karena itu bersama Pak Gubernur DKI, sudah disepakati akan diserahkan lewat pengadilan," kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak Hermanto menjawab pers, akhir pekan lalu, di Jakarta.

Hermanto menjelaskan pembangunan jalan tol JORR W2 Utara ini sangat mendesak untuk segera dikerjakan dan bila ada keputusan sela dari pengadilan maka diharapkan pembangunannya bisa segera dimulai dan ditargetkan pada 2012 sudah selesai sehingga mengurangi kepadatan dan kemacetan tol dalam kota.

"Hasil rapat terbatas kemarin memang kita fokuskan percepatan konstruksi JORR W2. DKI sudah menyiapkan itu gugatannya ke pengadilan. Dan kalau ada putusan sela, putusan sela itu yang bisa dipakai untuk konstruksi," kata Hermanto.

Hal senada disampaikan Direktur Jendral Bina Marga Kementrian PU, Djoko Murjanto bahwa, masalah pembebasan lahan ini masih terganjal oleh tanah Fasos dan Fasum milik pengembang properti yang sampai saat ini belum ada titik temu. Menurutnya ada tiga pengembang besar dua udah menyerahkan dan satu pengembang belum yaitu PT Copylas Indonesia.

"Ya, ada yang belum serahkan, kita sekarang terus melakukan pendekatan kepala pemilik tanah, baik milik mayarakat dan termasuk punya pengembang Copylas yang belum diselesaikan. Mudah mudahan milik pengembang yang nilainya besar ini, pemda DKI dan pengembang bisa diselesaikan," kata Djoko.

Menurut Djoko, tanah milik warga baik dari sisi Kebon Jeruk maupun Ulujami sudah hampir selesai, yakni mencapai 92 persen.

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

Kursi Deret, Trik Mengakali Ruang Makan Sempit

Posted: 20 Jun 2011 04:20 AM PDT

KOMPAS.com - Saat kita dihadapkan pada permasalahan rumit dengan tenggang waktu yang sangat sedikit terkadang ide-ide jenius justru bermunculan. Begitu juga ini terjadi saat kita harus mencari ide untuk mengakali ruang di rumah dengan area yang tidak luas.

Hidup di rumah mungil, satu ide yang bisa Anda terapkan adalah dengan menempatkan kursi berderet sebagai ganti kursi-kursi di ruang makan. Lihat pada gambar kursi makan yang diambil dari apartemen contoh 1 Park Residence di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini misalnya. Kalau biasanya kursi di meja makan berdiri tunggal dan ditempatkan sekitar 4 - 8 kursi mengitari meja makan, sementara kursi berderet ini hanya merupakan kursi panjang yang muat untuk duduk tiga sampai empat orang dengan meja di depannya.

Lho, sekilas kok seperti bangku berderet di warung-warung makan, ya?

Jangan khawatir. Dengan sentuhan interior yang sesuai, kursi model berderet ini justeru akan menampilkan kesan nyaman dan berkelas. Coba saja misalnya, menambahkan bantalan duduk berwarna krem yang dipadu dengan bantal kursi coklat muda. Selain akan memberikan kesan hangat, paduan ini cocok dengan parket pada dinding berwarna senada.

Untuk meja makannya, Anda bisa memberi sentuhan variasi gelas-gelas kaca dan tempat buah yang diukir dengan teknologi laser cut. Ruang makan dengan kursi berderet ini dapat menghemat tempat yang sempit. Pastinya, kalau biasanya kursi makan membutuhkan ruang lebih besar untuk dimaju mundurkan, kursi deret ini tidak perlu effort lebih besar seperti itu.

Mau coba?

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters featured article: Ten Years Of Media Lens - Our Problem With Mainstream Dissidents.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar